Selasa, 17 November 2009

OPINI

Tentang Koalisi Parlemen 2009-2014

Oleh : Aris Ali Ridho
Ketua I PMII Komisariat Brojonegoro dan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unila.

Sistem parlementer memang pernah gagal dipraktikan dalam sejarah Indonesia pada masa lalu, ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet dan karena itu membuatnya kurang populer dimata masyarakat, realitas kompleksitas keragaman kehidupan bangsa Indonesia justru membutuhkan sistem pemerintahan yang kuat dan stabil seperti sistem presidensil tersebut. Konsentrasi kekuasaan yang berada pada Presiden sebagai Kepala negara dan Kepala Pemerintahan, yang dimana para menteri adalah pembantu tugas presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden. Indonesia memang tidak menganut secara murni sistem presidensil, meskipun amandemen UUD telah menguatkannya, kebanyakan pengamat politik menyebutnya dengan sistem quasi presidensial, karena dalam beberapa hal, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR.
Sejatinya koalisi parlemen seharusnya memang terjadi dalam sistem parlemanter, namun realitas politik lah yang menghajatkan itu. Koalisi parlemen di Indonesia terjadi karena dalam rangka membentuk kabinet yang akan dilakukan oleh presiden dengan pembagian jatah menteri kepada partai-partai pendukungnya atau kepada partai-partai besar untuk dirangkul masuk kedalam pemerintahan. Hal ini menimbulkan fraksi-fraksi yang ada di DPR akan ikut mendukung presiden dalam parlemen, kerena partai-partainya masuk dalam partai pemerintah. Dengan demikian koalisi adalah rekayasa institusional untuk mengurangi distorsi kombinasi presidensial dan multipartai di satu pihak, dan dalam rangka efektivitas mengokohkan sistem presidensialisme di pihak lain (Syamsudin Haris, 2008).
Fungsi parlemen (uni kameral ataupun bikameral) dalam sistem presidensial adalah menterjemahkan “Kontrak Sosial” (janji kampanye presiden terpilih kepada rakyat) menjadi undang-undang. Parlemen juga berfungsi selaku pengontrol kinerja Presiden. Kendati diusung partai, anggota parlemen lebih bersifat sebagai wakil rakyat ketimbang wakil partai. Tidak dikenal istilah partai oposisi.
Sebenarya bukan masalah partai koaliasi atau partai oposisi, dalam sistem pemilu 2009 wakil rakyat ditentukan dengan sistem suara terbanyak. Artinya nomor urut partai tidak terlalu berpegaruh pada Pemilu 2009 kemarin, karena rakyat lebih memilih pada sosok figur yang akan menjadi wakil mereka di parlemen, jadi posisi wakil rakyat hasil pemilu 2009 disini adalah repsesentasi dari rakyat bukan partai. Sebagai wakil rakyat, sudah barang tentu segala sesuatu yang dikerjakan di parlemen adalah untuk rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok, partai, apalagi individu. Parlemen sebagai pemegang amanat demokratisasi dari rakyat, harus mampu menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.
Koalisi partai yang digagas SBY memang sangat menarik, dan koalisi ini juga berimbas dengan koalisi di DPR. Koalisi di DPR memang bagus untuk diterapkan demi tercapainnya kestabilan pemerintahan. Namun apabila koalisi di DPR tersebut membuat para anggota DPR bungkam dan tidak berani mengawasi dan mengkritik kinerja pemerintah yang memang benar-benar tidak sesuai, sungguh naïf keberadaan DPR. Koalisi atau oposisi, sebaiknya fungsi pengawasan di DPR tetap berjalan tanpa adanya inervensi dari partai. Bukan karena masuk dalam partai pemerintah kemudian kebijakan yang salah didukung, dan karena oposisi kebijakan yang sudah tepat dan benar malah dikritik.
Kita semua tahu, bawasannya tugas atau fungsi utama parlemen atau DPR di Indonesia adalah Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan. Dari tiga fungsi tersebut, kali ini penulis ingin membahas tentang fungsi Pengawasan. Bila kita sedikit berbicara tentang sejararah dikenalkannya parlemen di Eropa, diawali dan dapat dikatakan terbentuk setelah terjadinya gelombang reformasi pasca revolusi yang menuntut pembatasan terhadap kekuasaan raja yang otoritarian, dzalim dan dirasakan sangat menindas kepentingan rakyat banyak. Revolusi di Prancis, di Inggris, dan di beberapa kerajaan lainnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, dan sebagainnya, memperhatikan gejala yang sama, yaitu sebagai hasil perjuangan rakyat yang menentang kekuasaan para raja, maka dibentuklah mekanisme kelembagaan perwakilan rakyat yang disepakati dapat ikut aktif dalam mengawasi atau mengendalikan pelaksanaan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Sebenarnya fungsi legilasi itu hanyalah merupakan sebagian saja dari tugas pokok Parlemen Asal muasal terbentuknya parlemen dilatar belakangi oleh kebutuhan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Bahkan istilah parlemen itu berasal dari kata perancis ‘parle’ yang berarti ‘to speak’, berbicara, bukan ‘legislation’. Bahkan, meskipun secara formal fungsi legislasi itu ditentukan dalam konstitusi sebagai tugas pokok parlemen, tetapi dalam praktiknya justru fungsi legislasi itu tetap tidak efektif untuk menggambarkan adannya kesetaraan derajat antara pemerintah dan parlemen. Sebagai contoh di Indonesia, selama ini rancangan undang-undang (RUU) yang dibahas di DPR hampir 80% lebih justru berasal dari inisiatif pemerintah, bukan inisiatif DPR.
Jika kita lihat tentang parlemen di Indonesia, fungsi pengawasan kurang terasa. Peran chek and balances tidak akan tergambarkan dengan kurangnya fungsi pengawasan dalam DPR. Fraksi-fraksi yang ada di DPR selama ini mengikuti arah perintah dari Partai, sehingga peran anggota DPR lebih banyak dikendalikan oleh Partai. Apalagi tentang koalisi, Fraksi-fraksi di DPR ikut hanyut terbawa dan lebih manut dengan partainya dari pada dengan kontistuennya. Seakan-akan fungsi pengawasan hanya berlaku bagi partai oposisi, bukan partai yang masuk dalam koalisi pemerintah. Bila begitu DPR sama pada masa Orde Baru, parlemen tak ubahnya stempel karet bagi kebijakan pemerintah. Dahulu, DPR hanya mengesahkan saja usulan kebijakan. Tanpa kritik, dan bahkan biasanya tanpa mengalami perubahan apapun. Saat itu, walaupun DPR memliki peran legislasi, pengawasan, dan anggaran, dalam pelakasanannya tidak bisa berjalan. Arah kebijakan DPR saat itu, bukanlah ditentukan dalam ruang sidang di Senayan, tetapi tergantung arah angin yang ditiupkan dari istana kepresidenan.

Angin perubahan politik juga membawa arah baru dalam kaitannya dengan posisi parlemen, dari executife heavy menjadi legislave heavy. Kondisi ini memungkinkan menguatnya kekuatan politik parlemen untuk memonitor dan meminta pertanggungjawaban dari pemerintah. Bilamana sebelumnya, sidang baik di DPR ataupun di MPR sangat adem ayem dan tanpa gejolak dan dinamika yang berarti, wajah yang sama sekali berbeda menghiasi aktivitas di lembaga perwakilan rakyat setelah rezim berganti.

Sayangnya, perubahan ini tidak selamanya menunjukkan setelah meningkatnya kualitas kehidupan berdemokrasi di lembaga perwakilan rakyat. Perubahan politik ternyata tidak secara otomatis menjadikan kualitas dan performa lembaga perwakilan rakyat juga membaik.

Bila menurut konsep lembaga perwakilan, salah satu pertanyaan dasarnya adalah siapakah yang diwakili dan diperjuangkan kepentingannya oleh para anggota parlemen?. Ternyata, anggota DPR lebih sibuk mengurusi kepentingan politik jangka pendek daripada mengurusi urusan dan kepentingan bangsa. Mereka antara lain disibukkan dengan maneuver politik baik di dalam maupun di luar gedung parlemen, ketimbang mengurusi masalah mendasar rakyat seperti kemiskinan. Fungsi-fungsi pengawasan DPR seringkali dipotong melalui proses-proses politik nonformal di luar gedung parlemen. Usulan mengenai interpelasi dan hak angket banyak yang menguap di hotel berbintang atau tempat-tempat lain di luar senayan.

Dalam kondisi seperti inilah, harapan rakyat yang ditumpukan kepada wakilnya di DPR banyak yang tidak kesampaian. Inilah problem serius bagi demokrasi perwakilan di Indonesia yang sangat minim keterwakilan. Tentu saja, kritik kepada lembaga perwakilan tidak bisa diartikan sebagai pandangan yang menisbihkan peran lembaga perwakilan rakyat yang kredibel tak akan mungkin di tunda, kecuali harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Apatisnya rakyat Indonesia. Tentu tidak ada yang berharap bahwa situasi inilah yang justru akan menjadi potret dari kehidupan politik Indonesia, sekarang dan masa yang akan datang. Mudah-mudahan, wakil-wakil rakyat yang baru dilantik beberapa waktu yang lalu dapat menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya melakukan pengawasan terhadap pemerintahan SBY-Boediono lima tahun kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar