Minggu, 21 Februari 2010

OPINI

SERUAN “MIMPI” RESOLUSI HARI KEADILAN SOSIAL SEDUNIA


Oleh : Aris Ali Ridho

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan & Aktivis PMII Unila.


Pada November 2007 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi yang menetapkan hari Internasional baru, yaitu Hari Keadilan Sosial Sedunia, yang jatuh pada tanggal 20 Febuari. Ya, memang harus diakui hari penting Internasional ini banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahuinya. Resolusi itu menyerukan semua negara di dunia untuk menjalankan sistem perekonomiannya berdasarkan keadilan, kesetaraan dan tanggung jawab bersama. Lantas kita mungkin bertanya, sistem perekonomian berdasarkan keadilan, kesetaraan dan tanggung jawab bersama yang seperti apa lagi?. Bila kita melihat realitas perekonomian global saat ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah “Masih relevankah seruan resolusi Hari Keadilan Sosial Se-dunia tersebut?’. Sulit memang seruan resolusi itu, apa lagi melihat sistem perekonomian dunia yang saat ini, sepertinya jauh dari harapan, dan sangat mustahil, kecuali memang ada keinginan serius untuk menghancurkan sistem yang saat ini berlaku.


Perekonomian dunia secara global saat ini adalah sebuah tatanan ekonomi neoliberal yang disangga oleh lembaga-lembaga transnasional, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Bank Dunia (Word Bank), Dana Moneter Internasional (IMF), dan bank-bank regional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Lembaga-lembaga ini memiliki akses yang luas untuk berhubungan langsung dengan perekonomian negara-negara di dunia sehingga dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi di negara-negara yang dituju.


Krisis finansial global yang terjadi tahun lalu, hendaknya dijadikan bahan pembelajaran dan evaluasi, serta harus menjadi titik tolak untuk merombak tatanan ekonomi global. Fakta telah berbicara bahwa perekonomian dunia mulai mengalami disekuilibrium yang sangat tinggi. Bermula dari krisis di Amerika yang menyebar hingga keseluruh dunia. Banyak negara yang terikat dengan sistem ekonomi Amerika yang sekarang menjadi pusat perhatian negara-negara lain, sehingga negara-negara pengikut yang tidak mampu menciptakan perekonomian di negara sendiri, maka mereka akan kewalahan menghadapi globalisasi ekonomi. Terbukti seperti negara-negara dunia ketiga yang memicu sistem ekonomi dari Amerika, sekarang mangalami banyak permasalahan ekonomi yang hanya berhenti ketika perekonomian Amerika kembali stabil

.

Sistem perekonomian dunia memang sudah diarahkan kepada sistem ekonomi neoliberal yang dibalut indah dengan globalisasi. Jadi memang tidak semudah itu untuk merombak tatanan ekonomi global saat ini. Mengutip pernyataan dari mantan presiden Soeharto, “Siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita masuk proses globalisasi”. Diawal tahun 2010, tepat memasuki detik pertama tahun 2010, kesepakatan ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) resmi berlaku. ACFTA adalah sebuah produk kesepakatan untuk pasar bebas ditingkatan regional ASEAN yang ditambah China. Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi ini sekaligus akan merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan mengalirnya investasi.


Dalam ACFTA, negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan China, bebas untuk melakukan ekspor-impor ke Negara-negara tersebut dengan sedikit hambatan, bahkan dengan kouta dan bea tarif sampai dengan 0 %. Hal ini mengakibatkan membajirnya produk-produk luar yang bersaing dengan produk dalam negeri, terlebih di Indonesia yang secara produk kalah kualitas dan harga dengan negara-negara lain, khususnya dengan China. Sehingga konsumen dalam negeri lebih memilih kepada barang-barang impor, karena memang produk impor harganya cukup terjangkau ditengah sulitnya perekonomian masyarakat. Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen produk lokal menjadi importir produk China atau setidaknya pedagang produk impor China. Bila hal tersebut dibiarkan berlanjut oleh pemerintah tanpa ada usaha serius untuk mengatasi hal tersebut, suatu saat industri dalam negeri pun akan ikut gulung tikar dan akhirnya disusul juga oleh matinya sistem perekonomian domestik. Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010 ini.


Saat ini Indonesia menghadapi situasi yang sangat berat dengan perdagangan bebas ini, apalagi dengan adanya program percepatan impor atau early harvest program sehingga berbagai produk pertanian murah dari China seperti jeruk, apel, membanjiri Indonesia. Di masa mendatang, perjanjian perdagangan bebas ini bukan hanya dengan China, yang juga sudah ditandatangani adalah dengan India, Korea, Jepang, Australia dan New Zealand.

Lantas bila begitu, sistem perekonomian dunia dengan sistem ekonomi neoliberal dengan penyangga-penyangganya yang saat ini berkembang, telah menciptakan tata dunia yang tidak adil, keuntungan-keuntungan akan diserap oleh negara-negara maju, sementara hal itu memunculkan ketidakadilan kompetisi dalam pasar bebas, dan terjadi pembunuhan masal dalam bentuk yang canggih terhadap penduduk dari negara-negara miskin.

Dengan begitu, kuatnya negara-negara maju dan juga badan-badan dunia seprti WTO, IMF, dan Bank Dunia membuat tatanan ekonomi global yang menguntungkan dua kelompok besar saja, yaitu perusahan-perusahaan transnasional dan negara-negara maju. Sebaliknya, resiko buruk dialami oleh negara-negara berkembang dan miskin, seperti Indonesia. Ketidakadilan kompetisi itu hanya membuat negara berkembang menjadi pecundang. Negara berkembang memiliki kapasitas ekonomi domestik yang rendah (terutama teknologi) dan insfrastruktur sosial, akibat kolonialisme pertama yang dilakukan Negara-negara maju.


Panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, semakin beratnya beban hutang luar negeri yang harus ditanggung, masifikasi, undimendionalisasi, degradasi kualitas lingkungan hidup secara terus menerus, proses dehumanisasi tersamar yang nyaris tak terkontrol, dan lain-lain, adalah sebuah masalah klasik yang banyak terjadi di negara-negara berkembang. Kemiskinan tak semata-mata soal kebudayaan, tapi juga meliputi kegagalan institusionalisasi politik dan pembangunan struktur ekonomi. Bila pembangunan hanya diarahkan pada tingginya pertumbuhan—dengan mengesampingkan faktor penting pemerataan, maka menjadi kemestian sejarah bila kesenjangan menjadi ciri yang menyertai formasi sosial. Dalam jangka panjang berakibat pada pembusukan dan diintegrasi sosial yang parah.


Di Indonesia sendiri, keadilan sosial jelas-jelas termaktup dalam rumusan Pancasila sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Yaitu keadilan sosial harus didasarkan atas persamaan hak seluruh rakyat sehingga pembatasan atas hak dan diskriminasi atas nama agama, ras, etnik, dan gender akan mengakibatkan persoalan besar, yang perlu diatasi demi menciptakan keadilan sosial yang hakiki. Berpijak pada catatan perjalanan sejarah bangsa ini dalam melaksanakan amanah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, secara eksplisit terlihat bahwa penegakan keadilan sosial di Indonesia belum memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Bahkan, cenderung selalu terpinggirkan atau hanya menjadi salah satu bagian dari suatu program pembangunan. Tegasnya, masalah penegakan keadilan sosial tampak belum pernah menjadi password bagi program-program pembangunan lainnya. Padahal, tegaknya keadilan sosial akan menjadi pertanda terwujudnya kesejahteraan sosial. Terwujudnya kesejahteraan sosial berarti pula menjadi pertanda terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi. Pepatah Timur mengatakan, “tak ada negara tanpa penguasa, taka ada penguasa tanpa uang, tak ada uang tanpa kesejahteraan, dan tak ada kesejahteraan tanpa keadilan”.


Ketidakadilan ekonomi saat ini memang merupakan problem umiversal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan telah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu biasanya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif. Bila seandainya diharuskan memilih di antara keduanya, tentu tidak ada satupun yang layak untuk dipilih, karena yang terbaik adalah, keadilan sosial dan kebebasan harus diselenggarakan seiring dan sejalan. Dalam kaitan itulah, jika seandainya keadilan hendak ditegakkan di bumi Indonesia hendaklah hal itu dilakukan dengan tidak mengorbankan nilai-nilai kebebasan. Demikian pula sebaliknya, bila nilai-nilai kebebasan hendak diusung ke permukaan hendaklah pengusungan tersebut dilakukan dengan tetap menempatkan keadilan sosial sebagai prioritas perhatian yang perlu diselesaikan. The End…


Read more...

Selasa, 16 Februari 2010

Kabar Dari Teknokra

AKTIVIS UKM-U TOLAK PENUTUPAN JALAN KAMPUS DENGAN PORTAL

Diterbitkannya surat bernomor 370/H26/II/RT/2010 perihal pemberitahuan penutupan jalan kampus dengan alasan keamanan menuai penolakan dari aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas(UKM-U).Penutupan portal di Unila, diindikasi dapat menghambat aktivitas UKM-U. Demikian kesimpulan dari diskusi yang digelar Forum Komunikasi (Forkom) UKM-U sekaligus dalam rangka agenda rutin yasinan UKM-U di Sekretariat BEM-U, Kamis malam (28/1).

Dalam surat tertanggal 21 Januari 2010 itu disebutkan, pada hari kerja portal dibuka dari pukul 06.00 dan ditutup pukul 22.00. Sementara pada hari libur portal akan ditutup selama 24 jam. Namun apabila ada dosen, karyawan, dan mahasiswa yang akan mengadakan kegiatan/lembur harus melapor ke satpam yang bertugas.

Komandan Satpam, Safe’I mengatakan penutupan portal pada pukul 10 malam dilakukan atas pertimbangan berhentinya aktivitas perkuliahan. Namun jika ada mahasiswa yang berkepentingan untuk pendidikan atau kegiatan kampus seperti UKM pihak Satpam akan memberikan izin dengan syarat harus melaporkan kegiatan dan menunjukkan KTM ( Kartu Tanda Mahasiswa).

Menanggapi hal tersebut, Koordinator Forkom Unila, Andry Kurniawan menilai pemberlakuan penutupan jalan kampus dengan alasan keamanan akan menghambat aktivitas UKM. Terlebih pada hari libur yang akan ditutup total. Kegiatan UKM tidak hanya dilakukan pada siang hari namun hingga malam. Menurutnya sangat tidak mungkin UKM harus melaporkan kegiatannya pada satpam setiap hari bahkan perjam untuk melakukan aktivitas di UKM. Begitu juga dengan hari libur, UKM tetap melakukan aktivitasnya. “Kalau siang hari kita kan kita fokus kuliah, nah waktu malam inilah kita bisa beraktivitas,” tutur Andry.

Pernyataan Andry diamini oleh sekitar 30-an anggota Forkom yang hadir pada diskusi tersebut, diantaranya perwakilan Mapala, UKM-BS, Rakanila, KSR, Teknokra, Menwa, Pramuka, Kopma, BEM-U dan DPM-U.

Didi Arsandi, perwakilan UKM-BS menilai alasan keamanan yang dimaksud satpam harus jelas. Tidak kemudian malah menghambat aktivitas UKM yang notabennya beraktivitas juga pada malam hari. “Kalau masalah keamanan motor, itu sudah menjadi tanggung jawab anggota UKM sendiri. Toh satpam juga tidak mau bertanggung jawab kalau ada kehilangan di UKM,” tuturnya. Sementara itu, Presiden BEM-U, Antomi Saregar menilai penutupan portal dengan alasan apapun tidak dapat diterima apabila menghambat kreativitas UKM.* [Supendi] [Lap

Read more...

Kamis, 11 Februari 2010

Sahabat-sahabat PMII Unila (Senin/08-10) sedang beraksi di Bundaran Gajah Bandar Lampung dalam acara Mimbar bebasuntuk memperingati 40 Hari wafatnya KH.Abdurrahman Wahid (GUS DUR).

Read more...

Sekelumit Kata Dari Sang Ketua


PMII DIKAMPUS UMUM *

Tidak bisa kita pungkiri yang banyak diminati oleh para pemuda, terutama yang baru saja melepaskan masa sekolah SLTA adalah masuk perguruan tinggi negeri. Dari beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia kebanyakan merupakan perguruan tinggi negeri umum, dan itu merupakan yang paling banyak diminati oleh para pemuda / mahasisiwa. Belum ketika kita berbicara perguruan tinggi swasta lebih banyak lagi adalah kampus umum dan itu adalah lebih dominan dipilih oleh mahasiswa. Ma`af bukan berarti merendahkan atau mengajak mahasiswa untuk lebih memilih perguruan tinggi umum atau meninggalkan perguruan tinggi keagamaan. Ini hanya sebagai catetan bagi kita betapa pentingnya kita membaca arah gerakan kita dan menentukan paradigma gerakan untuk perkembangan kader. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) diharapkan dapat memperkuat keberadaannya di kampus-kampus umum. Selama ini kaderisasi PMII di kampus umum sangat lemah, sehingga keberadaan organisasasi kemahasiswaan berbasis Nahdlatul Ulama (NU) ini kurang marketable. Menurut saya, pengembangan PMII di kampus umum terasa berat. Banyak hambatan dalam kaderisasi organisasi berbasis mahasiswa NU ini ke kalangan mahasiswa kampus umum. Walaupun PMII Brojonegoro dulunya merupakan perintis PMII di lampung dan pernah jaya pada beberapa priode kepengurusan. “Pengembangan PMII di Unila sangat sulit. Di tengah padat dan ketatnya perkuliahan di Unila, kami harus kreatif dan inovatif untuk membuat PMII diterima mahasiswa. Selain itu PMII harus mampu menyesuaikan diri dengan kecenderungan mahasiswa-mahasiswa pada zaman sekarang. Banyak kendala yang dihadapi itulah membuat PMII di Brojonegoro Unila sering mengalami pasang surut. PMII masuk ke Brojonegoro Unila pada tahun 1960-an. Namun selama kurun 1960-an hingga 2007, PMII sering mengalami masa-masa vakum akibat keterputusan kaderisasi. Bahkan pada tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2006 PMII sempat tidak ada sama sekali warganya yang ada di komisariat Brojonegoro Unila, namun pada akhir tahun 2006 PMII bangkit kembali, yang berawal dari mengkader seseorang yang cerdas, intelektual, professional, militant dan bertanggung jawab yaitu sahabat Faridh Almuhayat Uhib, tidak lama setelah ia menjadi kader dan memimpin komosariat Brojonegoro ini, terlihat perubahan dan bangkitnya kembali PMII di Universitas Lampung. ia telah membentuk kader-kader militant, ketika di tanya pada suatu acara ia mengatakan “saya pada saat ini masih membentuk kader-kader yang saya siapkan untuk masa depan setelah saya meninggalkan kampus Universitas Lampung saya masih memiliki kader yang setia dan siap untuk mengembang PMII di Unila”. Ketika kita berbicara kelemahan seperti diatas, saya fakir itu jangan membuat kita untuk melemah atau putus semangat untuk berjuang bersama karena kelemahan dan pengalaman yang sudah dapat kita jadikan bahan pembelajaran. Saya berharap dari sahabat-sahabat Brojo, pengurus cabang Bandar Lampung, coordinator cabang dan PB dapat mengembangkan konsep kaderisasi yang dibutuhkan diBrojonegoro dan kampus umum lainnya. Langkah kita saya fikir tidak terlepas dari apa yang dibutuhkan mahasiswa dan dibutuhkan PMII saat ini. Mahasiswa membutuhkan kajian ilmu yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya sedangkan PMII membutuhkan kader-kader intelektual yang tangguh dari lintas disiplin. Selama ini spesialisasi kader PMII didominasi ilmu agama. Ke depan PMII harus memperkaya diri dengan kader dari ilmu-ilmu umum melalui peningkatkan kaderisasi. Semangat!!!

*) Oleh: MUTAKIN Saat ini menjabat sebagai Ketua Komisariat PMII Brojonegoro Universitas Lampung masa ibadah 2009/2010.

Read more...